7 Bab 7 Kondisi Penyerapan Open Source di Indonesia
Berbagai model bisnis open source telah dibahas pada bagian pertama. Semoga pembahasan sebelumnya bisa memberi gambaran yang cukup jelas mengenai berbagai model bisnis open source yang ada di dunia saat ini. Apalagi penjelasan tersebut juga dilengkapi dengan perkenalan dengan open source, lisensi yang dipakai, konsep bisnis, dan apa yang perlu diperhatikan ketika ingin membangun bisnis open source.
Informasi yang sudah anda cerna dari bagian pertama tentu perlu beberapa penyesuaian ketika akan diterapkan di Indonesia. Nah, sebelum berbincang mengenai berbagai lahan bisnis potensial di dunia open source, ada baiknya kita tengok bagaimana kondisi penyerapan open source di Indonesia. Apa saja yang sudah baik dan apa saja yang masih perlu dikembangkan.
Potensi bisnis yang ada sebaiknya tak bisa disia-siakan. Inginkah kita hanya menjadi penonton perubahan paradigma ini? Lalu baru tersadar setelah kita kembali menjadi konsumen saja dan medan sudah dikuasai orang lain. Padahal kita memiliki kemampuan menjadi produsen.
Salah satu hambatan yang menyebabkan orang enggan beralih ke open source, terutama pada instansi resmi, adalah tidak adanya dukungan teknis untuk open source. Mereka membutuhkan dukungan teknis dari suatu lembaga resmi, bukan perorangan. Berbeda dari perangkat lunak proprietary yang menyediakan dukungan adalah pembuatnya, perangkat lunak open source memungkinan setiap orang untuk menyediakan dukungan teknisnya. Layanan ini banyak dibutuhkan oleh pengguna open source dan merupakan bisnis yang cukup menjanjikan saat ini.
Ada yang menarik pada acara ulang tahun ke-2 majalah e-Indonesia yang diselenggarakan di Hotel Bina Karsa, Bidakara, Jakarta, 24 April 2007 yang sekaligus disambung dengan conference CIO Indonesia keesokan harinya (25 April 2007). Format acaranya sendiri adalah diskusi dan talkshow dengan tokoh yang ditampilkan adalah Kusmayanto Kadiman (Menteri Negara Riset dan Teknologi) dan Hermawan Kartajaya (Guru Marketing), dengan moderator Eko Indrajid.
Kusmayanto Kadiman memulai diskusi dengan informasi tentang perjuangan Kementrian Negara Riset dan Teknologi (KNRT) dengan IGOSnya, diantaranya adalah pendirian 13 pusat open source di Indonesia, membantu solusi migrasi ke open source, dan lain-lain. Tugas KNRT adalah mendorong pergerakan, dan ketika sudah bergerak sendiri (energi inersia), maka tugasnya hanya memonitor. Pemilihan open source selain keseimbangan, antikapitalisme, dan juga melatih kreativitas anak bangsa. Mengenai isu perpecahan Depkominfo dan KNRT, KK menyebutnya sebagai sebuah co-existence, dan term ini adalah kunci untuk hidup lebih dinamis.
Hermawan memulai diskusi dengan 9 elemen marketing yang dimulai tiga segitiganya yaitu positioning, differentiation and branding. Yang utama dan harus dilakukan dalam teknik marketing open source adalah menemukan keunikan dari open source. Komunitas, pengembang dan peneliti di dunia open source harus memahami marketing, juga harus mulai menggabungkan science dan art. Harus dipahami juga bahwa business landscape is changing, perhatikan adanya proses digitalization, globalization, futurization dan jangan lupa bahwa kadang dunia ini penuh dengan paradoksial.
Intinya Hermawan mengajak kita berjuang bersama supaya open source bisa mengdorong munculnya jiwa entrepreneurship. Microsoft yang sekarang market leader di dunia software, dulunya juga merupakan perusahaan kecil, tapi karena ada proses change, inovasi, akhirnya memimpin dalam industri software di dunia.
Juga salah satu yang penting adalah marketing dengan participation, Indonesian Idol, AFI adalah contoh marketing by participation ini. KNRT bisa mencoba teknik marketing ini dengan membuat kontes atau kompetisi pengembangan open source Indonesia. Perlu diperhatikan juga bahwa jangan terlalu banyak berharap atau mengemis dari pemerintah, UKM yang mengembangkan solusi open source jangan sering mengeluh, tapi harus berjuang, kerja keras, karena pemerintah juga bingung (kapan mau diganti dan harus ngerjain apa) di era sistem pemerintahan yang not-strong dewasa ini.
Website Resmi Indonesia Go Open Source
Kemudian diskusi dilanjutkan dengan suara dari floor, dimana tampil pak Setianto (mantan dirut telkom) yang menyampaikan bahwa sebaiknya dimulai dari pengembangan SDM, karena menurut data 63% orang Indonesia lulusan SD. Ketika membuat kebijakan juga harus down-to-the-earth, nggak di awang-awang. Pak Cahyana (Dirjen Aptel Depkominfo) menyampaikan bahwa di beberapa tempat di Indonesia sudah mulai ada deklarasi bebas pembajakan. Open source dipayungi oleh workflow revolution dimana prosesnya adalah seperti orkestra yang akan menyanyikan creative industry. Creative industry adalah kunci pergerakan open source.
- Peluang Bisnis
Peluang bisnis open source di dunia pada tahun 2008 bisa dikatakan sangat besar. Lembaga riset independen, IDC, menyebutkan bahwa open source akan menjadi salah satu penggerak utama dalam model bisnis teknologi informasi di tahun 2008. Lebih lanjut, IDC juga menyebutkan bahwa beberapa perusahaan teknologi informasi ternama, seperti IBM, Oracle, dan SAP, mulai meninggalkan model bisnis propietary dan lebih mengembangkan model inovasi berbasis komunitas, seperti open source.
Di Indonesia sendiri, pangsa pasar bisnis open source sangatlah besar dan terbuka lebar. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya perangkat lunak bajakan yang beredar, yakni mencapai 90 persen dari jumlah perangkat lunak yang digunakan di Indonesia. Selain itu, mulai diterapkannya UU HAKI secara tegas, membuat banyak perusahaan menengah ke bawah, yang masih menggunakan perangkat lunak bajakan, mulai beralih ke open source.
Pencanangan Indonesia, Go Open Source! (IGOS) pada tahun 2004 lalu, bisa dikatakan juga sebagai faktor pendukung bisnis open source di Indonesia. Lebih dari itu, Kementerian Riset dan Teknologi beberapa waktu yang lalu mencoba mendorong penetrasi open source dengan memberikan bantuan dana untuk UKM yang bergerak di bisnis open source. Tentu saja ini merupakan indikasi bahwa bisnis open source di Indonesia mulai bergerak ke arah yang lebih baik.
Peta bisnis dunia dalam bidang teknologi informasi sedang berubah menuju bisnis model open source. Langkah kita saat ini untuk menentukan model bisnis yang tepat di Indonesia, tidak hanya menguntungkan secara komersil. Tetapi juga bisa membantu negara ini untuk mengurangi jumlah pengangguran yang semakin banyak dari masa ke masa.
Peluang bisnis yang tersedia antara lain:
- u Penyedia dukungan teknis (technical support) bagi perusahaan/organisasi pemerintahan pemakai Linux/perangkat lunak open source.
- u Pengembang software dan system integrator.
- u Pengembang jaringan (Warnet, LAN, WAN).
- u Pengembang hardware untuk tujuan khusus (misalnya embedded systems, absensi dengan finger print, kontrol industri, router, SMS gateway, dll.).
- u Penyedia jasa pendidikan dan pelatihan.
- u Internet Service Provider, web design, web programming, web hosting, dll.
- u Jasa pendukung: penerbitan buku/majalah dan penyedia aksesoris: CD, kaos, topi, dll.
Selain peluang bisnis, ada juga peluang kerja yang meliputi namun tidak terbatas pada:
- u Administrator system ISP dan Web hosting, atau technical support di berbagai bidang.
- u Pengelola dan operator Warnet dan sejenis.
- u Programmer di konsultan TI atau divisi TI di berbagai perusahaan.
- u Database Adminstrator (DBA) di semua bidang.
- u Desain grafis di media cetak dan elektronik.
- u Instruktur atau pengajar di lembaga pendidikan formal dan non-formal (kursus / training center).
- u Penulis buku, majalah, tabloid, koran, dan media elektronik.
- Permasalahan yang Ada
- Penyerapan masih kurang
- Permasalahan yang Ada
Beberapa penyebab kurangnya penggunaan software open source antara lain:
- Kurang dikenal, banyak orang yang kurang memahami apa sebetulnya yang dimaksud dengan software open source. Minimnya promosi gerakan open source di media massa adalah salah satu penyebabnya.
- Dianggap kurang user-friendly, sebagian besar pengguna awam kesulitan ketika pertama kali menggunakannya. Apalagi bila sebelumnya sudah mendengar kesan kurang baik tentang aplikasi open source. Padahal sebenarnya sama saja. Hanya saja memang diperlukan pelatihan pada awalnya. Alasan ini sudah tidak relevan lagi, khususnya bagi pengguna biasa (bukan administrator sistem).
- Kesulitan dalam memperolehnya, secara umum, metode utama dalam distribusi software open source adalah melalui internet. Sementara akses internet di Indonesia masih relatif terbatas dan cukup mahal bila ditanggung oleh perorangan. Seharusnya software open source mulai dijual bebas di berbagai toko komputer dan tempat-tempat strategis lainnya.
- Kurangnya minat dan kepedulian publik, begitu mudahnya memperoleh software secara ilegal (bajakan) yang masih dijual bebas. Sehingga masyarakat tidak merasa memerlukan software open source.
Berkaitan dengan kemudahan penggunaan (user friendliness) Relevantive AG pada 2003 telah melakukan uji tingkat usabilitas penggunaan Linux dengan fokus pada penggunaan di lingkungan perusahaan dan administrasi publik. Karena belum adanya uji coba serupa, uji coba ini juga ditujukan untuk menyediakan dasar informasi bagi pengambil keputusan yang ingin atau berencana melakukan migrasi ke Linux.
Metode uji coba yang digunakan adalah: kuesioner pra-uji coba untuk melihat latar belakang pengalaman pengguna dengan komputer dan data demografis, dilanjutkan dengan uji performa pada tugas-tugas umum perkantoran, ditambah dengan kuesioner pasca-uji coba untuk melihat sistem yang lebih disukai, permasalahan, perubahan opini, dan memperhitungkan kemudahan pembelajaran dan penguasaan sistem.
Jumlah total peserta uji coba adalah 60 orang untuk Linux dan 20 orang untuk Windows XP. Jumlah umum yang dibutuhkan untuk uji usabilitas adalah 10 hingga 20 orang. Keterangan umum peserta adalah usia antara 25 hingga 55 tahun, bekerja dan menggunakan komputer setiap hari dalam bekerja, tidak memiliki pengalaman menggunakan Linux ataupun Windows XP, dan tidak ada ahli komputer maupun orang yang belum pernah menggunakan komputer. Jenis kelamin dan umur tedistribusi secara merata. Materi uji coba disusun agar dapat dibandingkan. Sistem Linux yang diujikan berbasis SuSE 8.2 dan KDE 3.1.2.
Hasil umum dari uji coba menunjukkan bahwa tingkat usabilitas Linux hampir setara dengan Windows XP. Mayoritas peserta uji coba merasa nyaman menggunakan Linux dan memperkirakan bahwa mereka perlu waktu paling lama satu minggu untuk mendapatkan tingkat penguasaan yang sama dengan sistem sebelumnya. Permasalahan yang muncul adalah penamaan aplikasi dan antar muka yang kurang familiar, struktur desktop dan menu yang kurang jelas.
Hasil menunjukkan bahwa penggunaan Linux tidak menurunkan performa yang signifikan pada pengguna. Rata-rata waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas tertentu sedikit lebih lama dibandingkan peserta uji coba Windows XP.
Sedangkan jawaban dari kuesioner pasca uji coba adalah:
- 87 % peserta uji coba Linux merasa nyaman bekerja dengan sistem yang diujikan (90% pada Windows XP)
- 78% peserta uji coba Linux yakin dapat bekerja dengan sistem yang baru dengan cepat (80% pada Windows XP)
- 80% peserta uji coba Linux menyatakan bahwa mereka memerlukan waktu paling lama satu minggu untuk mencapai tingkat penguasaan yang sama dengan sistem sebelumnya (85% pada Windows XP)
- 92% peserta uji coba Linux menyatakan penggunaan komputer dengan sistem yang diujikan adalah mudah (95% pada Windows XP)
- 83% peserta uji coba Linux menganggap desktop dan aplikasi yang diujikan teratur dengan jelas (100% pada Windows XP)
- 66% peserta uji coba Linux menganggap ikon-ikon pada aplikasi jelas dan dapat dipahami (75% pada Windows XP)
- 61 % peserta uji coba Linux memiliki opini yang lebih baik tentang sistem operasi yang diujikan dibandingkan sebelumnya (55% pada Windows XP)
- Minimnya Pengembangan
Pengembangan open source software di Indonesia masih sangat minim. Perangkat lunak open source di Indonesia masih tergolong baru. Para peminat perangkat lunak open source di tanah air masih sebatas menggunakan saja (melakukan instalasi) tanpa melakukan modifikasi, atau menambah fitur, atau memperbaiki bug yang ada. Sulitnya pengembangan open source software di Indonesia disebabkan beberapa faktor, antara lain:
- Membutuhkan kemampuan teknis yang tinggi.
- Sistem insentif (reward) yang tidak mengikuti pola pengembangan proprietary software yang ada.
- Model bisnis yang tidak mengikuti pola model bisnis proprietary software.
- Kepemilikan yang tidak jelas, sehingga cenderung berlawanan (anti-thesis) dengan pola pengembangan IPR (Intellectual Property Right) yang juga sedang digalakkan oleh pemerintah dalam penelitian yang didanai selama ini.
- Tidak tahu bagaimana caranya untuk memulai mengembangkan open source software.
- Hegemoni prorietary software yang sudah lebih dulu masuk ke pasar dan menjadi standar umum (standar de facto).
- Tingkat pembajakan proprietary software yang masih cukup tinggi, sehingga hal ini tidak memberikan insentif berupa adanya kebutuhan pasar (demand) akan perangkat lunak murah alternatif seperti open source. Tanpa adanya kebutuhan pasar ini, maka kebutuhan akan pengembang open source pun relatif rendah.
- Koneksi Internet
Berdasarkan data dari APJII disebutkan bahwa dalam 5 tahun belakangan ini, jumlah pengguna internet mengalami peningkatan yang sangat pesat. Hingga tahun 2005 ini, pengguna internet di Indonesia telah mencapai 16 juta jiwa, diperkirakan proyeksi jumlah ini sampai tahun 2007 mencapai 22 juta jiwa.
Menurut sumber lain, pengguna internet di Indonesia saat ini sekitar 18 juta jiwa dan mengalami peningkatan sebesar 800%. Namun jika dibandingkan dengan populasi Indonesia, besarnya penetrasi yang dicapai hanya sekitar 8%.
Kondisi ini membuat open source cukup sulit dijangkau oleh masyarakat Indonesia secara umum. Pengembangan aplikasi open source membutuhkan koneksi Internet yang sangat cepat untuk pertukaran source code, check in and check out code dalam sistem pengelolaan source code (Code Versioning System, CVS), membaca dokumentasi, dan seterusnya. Sebagai contoh, kernel Linux versi 2.6.21.3 memiliki ukuran 42 Mbytes. Belum lagi dibutuhkan banyak tool tambahan di sourceforge yang mungkin dibutuhkan untuk pengembangan.
Akan berat bagi pengembang untuk ikut berkolaborasi dengan pengembang lain di luar negeri jika koneksi Internetnya hanya menggunakan koneksi dial-up. Contoh lain adalah untuk melakukan update sistem Linux (dari berbagai distro), dibutuhkan koneksi ke Internet. Besarnya berkas yang harus diambil bergantung kepada jumlah aplikasi atau komponen yang harus di-update.
Semakin lama kita tidak melakukan update, semakin banyak komponen yang harus diambil, dan semakin besar juga bandwidth yang dibutuhkan. (Salah satu solusi terhadap masalah ini adalah dengan menggunakan repositori yang secara logikal berada lebih dekat dengan Indonesia. Atau solusi lainnya adalah membuat repositori dapat diakses dengan cara offline, tanpa koneksi Internet. Contohnya adalah repositori distro Ubuntu yang tersedia dalam keping DVD). Patut disyukuri, setelah diawali Ubuntu, kini tersedia juga repositori distro-distro lainnya dalam bentuk DVD.
Selain kecepatannya yang masih rendah, harga koneksi Internet di Indonesia masih relatif mahal. Pengembang open source biasanya tidak atau belum didanai oleh perusahaan sehingga biaya untuk koneksi internet ini masih harus menjadi tanggungan pribadinya. Hal ini cukup memberatkan, kecuali jika akses Internet ditanggung oleh sekolah, perguruan tinggi, atau perusahaan.
- Kendala Bahasa
Bahasa ternyata masih menjadi kendala yang cukup besar dalam mengembangkan prangkat lunak open source. Meskipun belum ada data yang cukup akurat, namun dari diskusi yang ada di milis-milis komunitas GNU/Linux Indonesia, tercermin bahwa pengembang perangkat lunak open source di Indonesia masih mengalami kesulitan berkomunikasi menggunakan Bahasa Inggris. Informasi berbahasa asing masih dianggap berjarak.
Untuk mengatasi kendala ini dapat ditempuh dengan dua alternatif sekaligus, yaitu:
- Menerjemahkan dokumentasi dan aplikasi open source ke dalam Bahasa Indonesia.
- Mendorong pengembang open source software Indonesia untuk dapat berkomunikasi menggunakan Bahasa Inggris.
Beberapa usaha yang telah dilakukan dalam mengatasi kendala bahasa ini antara lain adalah:
- Membuat distro berbahasa Indonesia seperti Kuliax, IGOS Nusantara, IGOS Laba-Laba, BlankOn dan Winbi.
- Menterjemahkan ke Bahasa Indonesia seperti http://tldp.vlsm.org/, http://project.informatix.or.id/, dan sebagainya.
- Ekosistem Bisnis Belum Berkembang
Sektor bisnis merupakan salah satu bagian yang belum tersentuh secara menyeluruh dalam pengembangan open source software. Perkembangan open source software masih terpolarisasi kedalam dua bagian yaitu komunitas dan bisnis. Kalangan komunitas memiliki kelebihan dalam hal riset dan pengembangan, dan merupakan tempat berinteraksinya orang-orang yang memiliki kemampuan teknis tinggi. Padahal sisi bisnis ini dapat memacu perkembangan open source software di masyarakat melalui pembentukan kluster industri perangkat lunak yang berbasis open source. Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengenai sisi bisnis pada open source software, yaitu:
- open source software merupakan jaringan
Bisnis OSS pada prakteknya merupakan suatu jaringan bisnis (network). Didalamnya ada komunitas, perusahaan, customer perusahaan, dan pengguna.
- open source software hanya sebuah perangkat lunak
Pada bisnis open source yang perlu ditekankan bahwa perusahaan itu menjual perangkat lunak sebagai produknya, termasuk didalamnya aplikasi-aplikasi open source software. Semakin baik kualitas perangkat lunak maka akan memudahkan dalam penjualan baik produk maupun service-nya. Karena open source software kerap dihasilkan dalam komunitas, maka perangkat lunak yang baik dihasilkan dari komunitas yang baik pula. Proyek pembuatan perangkat lunak dimulai ketika programmer menulis program untuk perangkat lunak yang akan dibuat, kemudian membagikannya pada orang lain berdasarkan lisensi open source software .
Survei mengenai penghambat penggunaan open source di perusahaan
Menurut hasil survei seperti gambar di atas, ada beberapa kendala yang menghambat penggunaan open source software dalam suatu perusahaan, yaitu:
- u Ketidakjelasan mengenai bentuk support yang akan diberikan.
- u Kurangnya pengetahuan mengenai alternatif solusi open source.
- u Kurangnya pengetahuan mengenai sisi bisnis open source.
- u Ketidakjelasan mengenai masalah Intellectual Property (IP), lisensi dan legalitas open source software .
- u Kurangnya keahlian untuk migrasi ke open source software .
- u Adanya pendapat bahwa open source software kekurangan dalam hal fitur dan fungsionalitas.
- Komponen Pendukung
- Pemerintah-IGOS
- Komponen Pendukung
Pemerintah dengan program IGOSnya berfungsi sebagai fasilitator dan pendorong pertumbuhan open source di Indonesia. Kementrian Negara Riset dan Teknologi terus aktif mempromosikan penggunaan open source.
Mengambil petuah Ki hajar Dewantara, ada tiga fungsi yang seharusnya dijalankan oleh pemerintah dalam hal ini.
- Ing Ngarso Sung Tuladha (di depan memberikan teladan)
Instansi pemerintah harus menjadi contoh dalam memanfaatkan berbagai software open source dalam operasionalnya sehari-hari. Dengan demikian, pesan Indonesia Go Open Source tidak menjadi omong kosong. Sayangnya, sebagian besar instansi pemerintah masih menggunakan software propietary. Bahkan, seringkali masih ada yang bajakan.
Sulitnya menerapkan open source di pemerintahan antara lain disebabkan oleh kultur pemerintah yang cenderung berusaha mapan atau business as usual. Mereka tidak terlalu memperhitungkan untung rugi pembelian software. Mengapa? Karena semuanya dibiayai oleh negara. Mereka tidak menyukai perubahan.
Padahal dengan memanfaatkan open source, uang yang dikeluarkan untuk biaya pelatihan atau dukungan tidak akan mengurangi devisa negara. Uangnya berputar di dalam negeri dan menyejahterakan anggota masyarakat yang menjadi penyedia jasa pelatihan, kustomisasi, dan dukungan pada software open source di pemerintahan.
Selain itu, alokasi dana untuk pembelian software propietary juga bisa dialihkan untuk menyejahterakan para pegawai negeri. Dengan demikian para pegawai negeri tidak perlu korupsi atau mencari pekerjaan sampingan. Bila sudah berpenghasilan cukup, para pegawai negeri juga dapat fokus pada pekerjaannya dan bekerja dengan lebih baik dalam melayani masyarakat.
- Ing Madya Mangun Karsa (di tengah-tengah membangun semangat)
Pemerintah juga perlu terjun dan berdialog dengan seluruh lapisan masyarakat untuk membangun semangat. Penyelenggaraan IGOS Summit adalah salah satu contoh yang baik dalam hal ini. Contoh baik lainnya adalah pengadaan berbagai lomba dengan hadiah menarik untuk mempromosikan pemanfaatan open source.
- Tut Wuri Handayani (dari belakang mengayomi)
Memberikan kesetaraan dan menyediakan ruang bagi penyedia solusi open source dalam tender-tender pemerintah. Seringkali, tender-tender pemerintah cenderung ke platform propietary tertentu. Sehingga spesifikasi perangkat keras yang diminta disesuaikan dengan standar minimal untuk menjalankan platform tersebut. Padahal dengan sistem open source, kompetisi bisa berkembang lebih luas. Sebab, spesifikasi perangkat keras yang diperlukan lebih fleksibel dan bisa disesuaikan. Kustomisasi perangkat lunak pun sangat dimungkinkan untuk disesuaikan dengan kebutuhan instansi pemerintah yang bersangkutan.
Tidak perlu dan sudah bukan jamannya lagi khawatir dengan berkurangnya nilai proyek bila memanfaatkan open source. Justru nilai proyek bisa saja lebih besar bila dipaketkan dengan solusi terintegrasi dan pelatihan. Sisi baiknya adalah uang yang dikeluarkan pemerintah tidak perlu dibuang ke luar negeri. Melainkan memberi makan penduduk kita sendiri. Devisa pun tidak berkurang.
- Komunitas-KPLI
Komunitas open source di Indonesia barangkali dapat diwakili oleh Kelompok Pengguna Linux Indonesia (KPLI) yang ada di berbagai kota. Anda bisa melihat daftar KPLI yang diketahui saat ini di Lampiran H. Bila anda belum bergabung, hubungi KPLI di kota anda. Atau, bila belum ada di kota anda, jadilah inisiator yang mendirikan KPLI baru. Selain itu, komunitas juga bisa berupa komunitas khusus pengguna distro tertentu atau hanya berupa milis pengguna Linux dan Open Source di sekolah atau kampus tertentu.
Barangkali salah satu penyebab lambatnya perkembangan open source di Indonesia adalah budaya masyarakatnya. Budaya yang lebih berkembang adalah sifat gotong royong dalam komunitas, bukan kebebasan individu. Open source yang berkembang di Barat dengan pesat berasal dari kebebasan individu yang dijunjung tinggi.
Maka, komunitas menjadi kunci suksesnya. Komunitas harus berfungsi sebagai katalis yang merangkul pihak-pihak lain. Kegiatan komunitas harus diperbanyak dan sebisa mungkin melibatkan berbagai komponen penting lainnya, yaitu: dunia pendidikan, dunia bisnis, pemerintah, dan masyarakat.
Situs Web Komunitas Linux Indonesia, www.linux.or.id
Kerjasama dengan dunia bisnis bisa berupa ajakan menjadi sponsor dalam berbagai acara yang diadakan oleh komunitas. Bisa juga dengan menyediakan tenaga kerja bagi dunia bisnis. Tentu saja sertifikasi sebaiknya diperhatikan agar dunia bisnis juga mendapatkan jaminan.
Kerjasama dengan pemerintah bisa berupa dukungan dana dan fasilitas. Pemerintah bisa menunjuk atau meresmikan komunitas yang sudah siap untuk menjadi cabang IGOS-center atau pusat pengembangan open source di masing-masing kota.
Kerjasama dengan dunia pendidikan bisa berupa advokasi atau pengenalan dan pelatihan Linux atau aplikasi open source ke sekolah-sekolah dalam ruang lingkup masing-masing komunitas. Pihak komunitas juga dapat mengambil keuntungan dengan menjadi pengajar resmi yang dibayar untuk mengajarkan mata pelajaran atau mata kuliah Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).
Kerjasama dengan masyarakat bisa berupa pengadaan berbagai kegiatan untuk umum dan penyediaan komunitas sebagai tempat konsultasi. Komunitas bisa mengambil keuntungan dengan berbagai cara yang kreatif. Komunitas bisa juga ikut berbisnis.
Situs Web Komunitas Ubuntu, Fedora, dan openSUSE Indonesia
- Dunia Bisnis
Edukasi Pasar
Peran penting dari dunia bisnis adalah edukasi pasar. Pebisnis calon pebisnis harus terjun ke masyarakat dan bekerja sama dengan komunitas serta dunia pendidikan. Pemerintah pun dapat turut membantu edukasi pasar melalui iklan layanan masyarakat.
Salah satu contoh mudah dalam edukasi pasar untuk Linux dan aplikasi open source adalah kemauan perusahaan-perusahaan penyedia jasa Linux dan berbagai aplikasi open source untuk menjadi sponsor dalam acara komunitas, membuat seminar dengan frekwensi yang lebih padat dan advokasi pemanfaatan Linux dan perangkat lunak open source pada masyarakat luas.
Mungkin ada kekhawatiran, bahwa “kita yang capek edukasi pasar, yang mengambil untung malah perusahaan lain…”, padahal tidak juga. Jika bisnis Linux dan open source berkembang, perusahaan yang melakukan edukasi pasar akan memetik keuntungan sebagai inisiator dan inovator. Masih banyak ruang bisnis Linux dan open source yang terbuka, yang masih menguntungkan meski ada banyak perusahaan yang terjun ke dalamnya.
Banyak rekan-rekan TI di perusahaan yang ingin melakukan migrasi sistem dari Windows ke Linux kesulitan mencari perusahaan yang bisa memberikan jasa konsultasi dan dukungan penuh jika ingin melakukan migrasi. Ada banyak rekan aktivis dan penggiat Linux namun biasanya perusahaan membutuhkan lembaga ‘resmi’ dan berbentuk ‘perusahaan’ agar bisa dipercaya dalam negosiasi bisnis.
Pengalaman mas Romi Satria Wahono dalam mengembangkan IKC bisa menjadi salah satu inspirasi. Jika sejak awal beliau berniat membangun suatu perusahaan dan melulu berkonsentrasi bagaimana perusahaannya bisa meraih pangsa pasar yang besar dan sukses dalam operasionalnya, mungkin IKC tidak sebesar sekarang dan Brainmatics-pun akan mencari-cari customer. Dengan pendekatan pada memajukan komunitas, pasar untuk perusahaan yang dibentuk terkondisi secara otomatis, bahkan mungkin awalnya tidak disadari oleh para pendirinya.
Contoh sedikit berbeda bisa dibaca pada bidang non-TI. Perusahaan yang memasyarakatkan penggunaan buah pace (mengkudu) memilih melakukan edukasi pasar dengan membuat iklan besra-besaran dan mempromosikan keunggulan buah tersebut. Hasilnya, orang sudah tidak asing dengan manfaat buah mengkudu dan varian produknya bisa dinikmati dalam bentuk juice (balinoni, javanoni) atau dalam bentuk kapsul yang mudah diminum (pacekap). Perusahaan yang melakukan edukasi pasar memetik keuntungan sebagai inisiator dan membuka jalan bagi perusahaan lain dalam mengembangkan pasar yang sudah dibuka.
Jika kita hanya berkonsentrasi pada hasil akhir tanpa memikirkan proses, hasilnya mungkin tetap ada namun kecil dan kurang optimal.
Technopreneurship
Dunia bisnis atau pebisnis open source seharusnya juga dapat berperan membantu pemerintah dan masyarakat dalam mengurangi pengangguran. Yaitu dengan menyediakan lapangan kerja. Jiwa-jiwa technopreneurship harus dikembangkan. Jangan sampai generasi muda Indonesia meneruskan semangat menjadi programmer kuli.
Peluang untuk software house lokal sangatlah besar. Namun tentu saja harus dibarengi dengan edukasi pasar dan penindakan pembajakan dengan serius. Sehingga permintaan software open source karya anak bangsa akan meningkat. Bila software bajakan masih mudah didapat, tidak akan ada permintaan tersebut.
- Dunia Pendidikan
Hampir semua kebutuhan software untuk perguruan tinggi (TIK maupun non TIK) dapat dipenuhi oleh FOSS yang telah ada. Untuk TIK, penggunaan Free/Open Source akan lebih memberikan peluang dosen dan mahasiswa belajar dan berinovasi, terutama karena ketersediaan Source Code dan kebebasan untuk dimodifikasi dan disebarluaskan.
Sebagai contoh untuk non TIK, Scilab dapat menggantikan Mathlab. Untuk pengolahan data, R-Project atau OpenStat2 dan PSPP dapat menggantikan SPSS. Grass dan FreeGIS untuk GIS (Geographic Information System) seperti ArcView.
Contoh di Teknik Elektro dan Ilmu Komputer: GEDA (GPL Electronic Design Automation) dan SPICE untuk emulasi rangkaian elektronika. Eagle untuk membuat skema elektronika. MatPLC untuk Programmable Logic Controller berbasis software di PC. XNBC dan SNNS untuk Neural Network Simulation.
Ilmu lainnya: Gretl untuk program econometrics. Untuk astronomi atau desktop planetarium tersedia Kstars dan Stellarium, yang dapat digunakan sebagai sarana menentukan awal bulan Qomariyah, misalnya menentukan Hari Raya Idul Fitri bagi umat Islam, dll.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh dunia pendidikan:
- Sesuaikan kurikulum yang ada. Ajarkan ilmu dasarnya, bukan cara menggunakan suatu produk, apalagi yang propietary. Bila seorang anak diajari menggunakan suatu produk saja, dia akan sangat bergantung dan kebingungan ketika bertemu dengan produk lain yang lebih bagus. Bila ada pilihan yang lebih murah dan berkualitas, gunakanlah. Aplikasi open source sudah tersedia untuk berbagai bidang ilmu pengetahuan. NASA pun menggunakannya dalam berbagai penelitiannya.
- Dunia bisnis menunggu lulusan-lulusan yang memiliki kompetensi dalam penggunaan, perawatan, dan kustomisasi aplikasi open source. Efisiensi adalah kunci sukses penggunaan software open source di dunia bisnis. Mereka sangat memperhitungkan untung rugi dalam bisnisnya. Tidak peduli apakah itu open source atau tidak. Yang penting bisnisnya dapat berjalan lancar. Semakin meluasnya pemanfaatan open source dalam dunia bisnis menuntut tersedianya pekerja yang mampu memenuhi kebutuhan para pengelola bisnis.
- Dukungan dunia pendidikan atas pengembangan open source juga harus disertai dengan penyediaan literatur yang up to date. Dunia TI dan open source berkembang sangat pesat. Bila tidak diikuti, kita akan terus tertinggal dan selalu hidup di masa lalu. Padahal kita punya kemampuan untuk menjadi penentu masa depan dunia. Open source ibarat perpustakaan yang terbuka lebar dan merupakan gerbang menuju tenaga dan produk TI berkualitas ekspor.
- Kepedulian dan kesadaran akan kelebihan open source juga harus terus dipupuk. Keterlibatan tenaga ahli dan profesional juga sangat diperlukan. Agar ilmu yang diperoleh dapat diterapkan dan tidak terlalu jauh dari teori.
- Masyarakat
Sementara itu masyarakat umum sebagai pengguna personal harus diberi pemahaman. Baik oleh pebisnis, dunia pendidikan, pemerintah, maupun komunitas. Bila sudah paham, tentu mereka akan berperan aktif dalam pengembangan open source di Indonesia. Sebab, pemanfaatan open source secara maksimal akan menguntungkan semua pihak. Tidak hanya menguntungkan satu pihak saja.
Jangan lupa, masyarakat umum memiliki peran penting dalam kegiatannya di luar rumah. Mereka bisa saja bagian dari dunia bisnis, dunia pendidikan, pemerintah, maupun anggota suatu komunitas.
- Sekedar Solusi: Sinergi
Hal terpenting dari keterkaitan semua komponen tersebut adalah adanya sinergi. Tidak ada sistem yang berjalan dengan baik bila masing-masing komponen berjalan sendiri-sendiri. Maka diperlukan koordinasi dari pemerintah agar gerakan open source dari berbagai elemen masyarakat dapat berjalan sinergis.